Ahli Hukum Pidana Dari Universitas Meragukan CCTV Dari Kasus Kematian Mirna

Persidangan terdakwa Jessica Kumala Wongso berakhir dengan vonis 20 tahun penjara atas kejahatan pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin. Jessica disebut terbukti menaruh racun sianida dalam Vietnamese Ice Coffee (VIC) hingga menewaskan Mirna, 6 Januari lalu. Berbagai pernyataan ahli dari pengacara maupun Jaksa Penuntut Umum kerap berseberangan. Termasuk soal barang bukti yang dibawa JPU ke persidangan.

Ahli Hukum Pidana Dari Universitas Meragukan CCTV Dari Kasus Kematian Mirna

Salah satunya adalah barang bukti kopi bersianida. Hingga di ujung persidangan, JPU tak dapat memastikan apakah botol kopi yang ditunjukkan di persidangan benar berisi sianida atau bukan. Kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, menilai banyak kejanggalan dari barang bukti tersebut. Otto menyebut, ada dua versi berbeda pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait penyimpanan kopi bersianida setelah disita pihak kepolisian.

Dalam BAP disebutkan, sampel kopi beracun dituangkan dari gelas ke botol saat di Polsek Tanah Abang, Jakarta Pusat, 8 Januari lalu. Namun keterangan lain dalam BAP menyebutkan, barang bukti telah dikirim dari Polsek Tanah Abang ke Mabes Polri sehari sebelumnya yakni 7 Januari 2016. Kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, menilai banyak kejanggalan dari barang bukti tersebut. Otto menyebut, ada dua versi berbeda pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait penyimpanan kopi bersianida setelah disita pihak kepolisian.

Hasil Rekaman CCTV Dari Kasus Kematian Mirna Diragukan

Dalam BAP disebutkan, sampel kopi beracun dituangkan dari gelas ke botol saat di Polsek Tanah Abang, Jakarta Pusat, 8 Januari lalu. Namun keterangan lain dalam BAP menyebutkan, barang bukti telah dikirim dari Polsek Tanah Abang ke Mabes Polri sehari sebelumnya yakni 7 Januari 2016. Pada tujuh barang bukti kopi yang diuji di Pusat Laboratorium Forensi (Puslabfor) bahkan menunjukkan, hasilnya negatif sianida. Otto menyebut, dalam berkas dakwaan ada barang bukti yang kemudian disingkat BB I hingga VII.

Hasilnya pada BB I, positif mengandung sianida sebanyak 7.400 miligram, BB II positif sianida sebanyak 7.900 miligram. Sementara pada BB lainnya dinyatakan negatif sianida. Kejanggalan lain, keterangan bartender Kafe Olivier, Yohanes, yang mengaku menuang sisa kopi Mirna dalam botol air mineral yang terbuat dari kaca. Dia melakukan hal tersebut usai diminta manajer bar Kafe Olivier, Devi Siagian, untuk memindahkan kopi tersebut.

Yohanes memastikan, gelas itu kosong dan tak ada kopi beracun yang tersisa dalam gelas kopi tersebut. Sementara gelas bekas itu, seingat Yohanes, diletakkan begitu saja di meja pantry kafe. Ternyata dalam bukti yang dihadirkan bukan botol air mineral itu. Padahal sudah jelas kopi itu dituang semua ke botol. Sedangkan yang di laboratorium Puslabfor gelasnya masih isi kopi. Jadi kopinya yang mana? ujar Otto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juli lalu.

Otto meragukan keaslian kopi dalam botol yang menjadi barang butki. Dia mencurigai, kopi bukan berasal dari sisa kopi beracun yang diminum Mirna. JPU sempat menunjukkan gelas bekas VIC dan botol berisi sisa kopi kepada majelis hakim dalam persidangan Juli lalu. JPU yang diwakili Ardito Muwardi membuka botol kaca berisi kopi beracun. Terdengar suara letupan kecil saat botol itu dibuka. Tak ada bau khas dari kopi, warnanya juga telah berubah menjadi lebih keruh. Warna VIC mestinya coklat kehitaman. Namun dari keterangan sejumlah saksi di Olivier, kopi itu berwarna kekuningan seperti kunyit dengan bau tak enak.

Penolakan Hakim

Devi Siagian juga ditunjukkan botol kaca berisi kopi. Hakim Anggota Binsar Gultom menanyakan warna kopi dalam botol tersebut pada Devi. Warnanya seperti ini atau tidak? tanya hakim Binsar sambil menunjukkan botol. Beda, Yang Mulia. Kopi yang diminum Mirna saat itu lebih pekat dan kekuning-kuningan, jawab Devi. Perubahan warna kopi dalam botol diduga karena lama penyimpanan sejak peristiwa kematian Mirna terjadi. Meski kopi dalam botol telah berubah warna, Devi meyakini bahwa botol kopi itulah yang dibawa polisi untuk diperiksa di Puslabfor Polri.

Berbagai fakta dan pendapat yang mencuat di persidangan menjadi catatan. Tak diketahui mana yang diyakini majelis hakim, namun seluruhnya akan menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan putusan. Ahli pidana Mudzakkir mengatakan, kejanggalan yang ditemui di persidangan sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan majelis hakim. Hakim juga berhak menolak dokumen yang dianggap tidak valid. Daripada sidang berlarut-larut, sedangkan keterangannya tidak relevan, ucap Mudzakkir. Kini majelis hakim telah menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Jessica atas pidana pembunuhan berencana dengan menggunakan bukti tak langsung.